Laman

Tuesday, February 1, 2011

Sejarah Kempo Dunia dan Indonesia

Oleh Zahara, dikutip dari PB Perkemi
1. Kempo dan Budhisme
Seketika orang berkesimpulan bahwa ilmu beladiri Kempo berasal dari dataran Tiongkok. Namun anggapan seperti ini tidaklah semuanya benar. Kira-kira tahun 550 M. Pendeta Budha ke 28 yang bernama Dharma Taishi pindah dari tempat tinggalnya di Baramon (India) ke daratan Tiongkok. Ia menetap disebuah Kuil yang bernama SIAU LIEM SIE atau dikenal kemudian dengan sebutan SHORINJI yang terletak di Provinsi KWAN NAN. 
Selama dalam perjalanan dari pengembaraannya, Dharma Taishi juga menyebarkan ajaran agama Budha. Dalam tugasnya ini, tidak sedikit tantangan, ancaman dan hinaan yang dialaminya. Bahkan nyaris merenggut jiwanya. Dari pengalaman-pengalamannya itu timbullah anggapan dalam dirinya, bahwa seseorang calon Bikshu sebaiknya juga melatih diri dengan ketahanan jasmaninya, disamping membersihkan rohaninya untuk mencapai nirwana dengan bersemedi. Hidup adalah suatu perjuangan! Demikianlah telah menjadi hukum alam. Untuk dapat servive di alam yang fana ini, Tuhan telah mentakdirkan memberikan alat-alat untuk mempertahankan diri kepada makhluk ciptaannya. 
Dalam ajaran agama Budha, dikatakan bahwa Hidup itu berasal dari “kosong” atau “tiada”. Namun oleh Dharma Taishi dilengkapinya, bahwa tidak ada gunanya menjadi “kosong” atau “suci”, jika tidak dapat atau tidak bisa membela sesama manusia yang ditimpa kemalangan dan butuh bantuan atau pertolongan kita. 
Dharma Taishi yang bergelar Pendeta Budha ke-28 selama di India pernah belajar INDO KEMPO (silat India), dan karena tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembaraannya di Tiongkok, kemudian Ia mempelajari pula berbagai aliran silat Tiongkok Kuno. Selama 9 tahun ia bertapa, tekatnya menyusun suatu ilmu untuk mempertahankan diri dan dimaksudkan sebagai syarat dan mata pelajaran bagi calon pendeta Budha. Sejak saat itu ilmu beladiri yang dikemukakannya telah menjadi bagian dari pendidikan keagamaan pada ZEN BUDHISME. Dharma Taishi tetap beranggapan, bahwa semua pengikutnya haruslah berfisik kuat guna melanjutkan usaha menyebar-luaskan ajaran Budha yang cukup berat tersebut. 
Dalam cerita silat klasik Tiongkok, sering dijumpai nama TATMO COWSU. Nama ini tidak lain adalah yang dimaksud adalah Dharma Taishi sendiri, yang menciptakan seni beladiri SHORINJI KEMPO atau SIAW LIEM SIE KUNG-FU. 
Seni beladiri ini dilatih secara khusus kepada para calon Biksu didikannya, dan diajarkan secara rahasia dalam KUIL Shorinji. Selain anggota tidak boleh melihat atau masuk ke dalam kuil. Namun keampuhan seni beladiri ciptaannya itu dengan cepat pula menjadi buah bibir masyarakat sekitarnya, bahkan menjalar luas sampai di daratan Tiongkok. 
2. Perang Boxer
Shorinji Kempo sendiri mengalami perkembangan pesat di dataran Tiongkok. Pengikutnya kian bertambah banyak, sebab itu Shorinji Kempo kian berpengaruh dalam masyarakat Tiongkok. Pada awal abad XX tahun 1900 – 1901, di Tiongkok meletuslah perlawanan rakyat menentang masuknya Kolonialisme Barat dan banyak pengikut Shorinji Kempo melibatkan diri dalam perlawanan rakyat. Pemberontakan diawal abad XX tersebut akhirnya menjadi suatu pergerakan nasional dan disokong oleh Raru TZE SJI, yang juga ingin membersihkan tanah airnya dari penjajahan bangsa Barat. Dengan mengerahkan bantuan yang besar dan juga mempergunakan peralatan perang mutakhir, pihak Kolonialisme Barat akhirnya mampu mematahkan perlawanan rakyat Tiongkok. Perang tersebut menelan jutaan korban itu, terkenal dengan sebutan “PERANG BOXER” dan oleh Kolonialisme Barat, penggikut-pengikut Dharma Taishi dikejar dan dibunuh, organisasinya dilarang, kuil-kuil Shorinji dirusak dan dibakar. Meskipun masih banyak pengikut Shorinji Kempo dan juga Bikshu-bikshu yang sempat meloloskan diri dari kejaran pasukan penjajah. Kebanyakan dari mereka yang meloloskan diri tersebut masih berusia muda dan belum menguasai seni beladiri yang diwariskan oleh Dharma Taishi tersebut. Dan mereka melarikan diri ke arah Timur dan Selatan dan mengajarkan aliran Shorinji yang mereka kuasai kepada pedagang-pedagang dari Okinawa, Taiwan dan juga Muangthai. 
Karena tidak terorganisasinya kesatuan, maka penyebaran Shorinji mulai membentuk seni beladiri baru. Mereka yang melarikan diri ke Muangthai dengan hanya menguasai teknik GOHO (memukul, menendang, dan menangkis), yang mempengaruhi perkembangan seni beladiri yang ada di daerah tersebut. Maka munculah apa yang disebut “THAI BOXING”. Dalam gerakan seni beladiri ini mirip sekali dengan sebagian gerakan-gerakan yang ada di Kempo (silat GOHO-nya). Ajaran Shorinji terutama teknik GOHO juga mempengaruhi seni beladiri yang ada di Okinawa (pulau ujung sebelah Selatan Jepang) dan timbulah seni beladiri yang dinamakan OKINAWATE (kemudian dikenal sebagai KARATE). 
Mereka yang melarikan diri di kepulauan Jepang lainnya dan menguasai teknik JUHO (lunak) juga mempengaruhi seni beladiri yang ada daerah-daerah tersebut. Dari JUHO munculah seni beladiri JU-JIT-SHU (JU berarti lembut, lenting dan fleksibel). Juga lahirlah teknik JUHO seni beladiri AIKIDO dan JUDO, maka tidaklah heran walaupun Kempo baru mulai bangkit kembali setelah Perang Dunia II, setelah menghilang beberapa waktu lamanya, namun aliran-aliran seni beladiri lainnya tersebut tetap bersumber dari Shorinji Kempo sebagai seni beladiri yang tertua.  
3. Perkembangan Kempo Setelah Perang Dunia Ke 2
Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dikatan bahwa Shorinji Kempo baru bangkit kembali di Jepang seusai Perang Dunia ke II, dan dalam waktu relatif singkat seni beladiri ini menyebar luas tidak hanya d Jepang, bahkan di seluruh dunia. 
Seorang pemuda Jepang bernama SO DOSHIN dikirim ke Tiongkok dalam pasukan ekspedisi tentara Jepang ke Manchuria pada tahun 1928. So Doshin tidak sepaham dengan cara-cara penjajahan Jepang, kemudian melarikan diri dari induk pasukannya dan mengembara di dataran Tiongkok. Dalam pengembaraannya, ia bertemu dengan seorang pendeta Budha, yang akhirnya membawa ia ke Kuil SIAUW LIEM SIE. Kuil ini telah diperbaiki oleh penerus-penerus Dharma Taishi setelah dimusnahkan oleh Kolonialisme dalam Perang Boxer. Di Kuil Shorinji ini, So Doshin akhirnya mempelajari Ilmu Shorinji Kempo, langsung di bawah asuhan Maha Guru (Sihang) ke – 20, yaitu WEN TAY SON. Dengan tekun ia berlatih dan dengan kesetiaan dan penguasaanya yang sempurna akan ilmu Shorinji Kempo, maka So Doshin di beri penghargaan tertinggi menjadi Maha Guru ke – 21, dan diperbolehkan meningggalkan Kuil Shorinji untuk meneruskan ajaran Kempo di dataran Jepang (Tanah Airnya)Tahun 1945, setelah 17 tahun menggembleng dirinya di Kuil Shorinji Kempo, So Doshin yang telah bergelar Sihang ke – 21 kembali ke Jepang. Di Jepang ia membuat DOJO (Tempat Latihan) sendiri. Ia memilih tempat di kota TODATSU, yang terletak di Provinsi KAGAWA, di Pulau SHIKOKU yang kemudian terkenal sebagai Pusat Shorinji Kempo. 
Murid-muridnya mulai berdatangan di Dojo-nya, tidak saja dari daerah sekitarnya, juga dari daerah-daerah lain di Jepang, bahkan dari luar Jepang sendiri (terutama Mahasiswa asing yang sedang belajar di Jepang). Sihang ke – 21 ini seperti yang dialaminya sendiri, juga menempa murid-muridnya dengan disiplin yang keras. GURU BESAR Shorinji Kempo ini tetap menempatkan seni beladiri ini sebagai pengayom hati dan jiwa dengan penuh rasa damai dan welas-asih bagi para Kenshi-nya. 
Oleh sebab itu, lambang organisasi Shorinji Kempo menggunakan lambang agama Budha “MANJI”, yaitu semacam tanda Swastika yang berputar ke kiri yang berarti : “KASIH SAYANG DAN KEKUATAN”. Dan ini sesuai dengan Doktrin Shorinji Kempo : “Kekuatan Tanpa Kasih Sayang adalah Kezaliman, Kasih Sayang Tanpa Kekuatan adalah Kelemhan”. Dan dalam tindakan sehari-hari sering diartikan, Dimana ada Kekuatan harus ada Kebijaksanaan dan Kebijaksanaan harus disertai Kekuatan. 
4. Perkembangan SHORINJI Kempo di Indonesia   
Konsekwensi yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Jepang setelah kekalahannya pada Perang Dunia ke – II kepada bangsa Indonesia adalah membayar Pampasan Perang. Salah satu cara atau bentuk pembayaran pampasan perang itu adalah sejak akhir tahun 1959 Pemerintah Jepang menerima Mahasiswa Indonesia dan juga pemudanya untuk belajar dan training di negeri matahari terbit tersebut.Maka sejak saat itu secara bergelombang dari tahun ke tahun sampai tahun 1965 ratusan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia mendapat kesempatan untuk belajar di Japang. Dari jumlah tersebut tidak sedikit pula diantara mereka yang memanfaatkan waktu-waktu senggang dan liburannya untuk belajar dan memperdalam seni beladiri yang ada di Jepang. Dan mereka ini pula sekembalinya ke tanah air tidak saja menggondol ijazah menurut bidang study mereka, juga memperoleh tambahan berupa penguasaan atas seni beladiri yang ada di Jepang, seperti : Karate, Judo, Ju Jit Su dan juga Shorinji Kempo.Pada tahun 1962 dalam suatu acara kesenian yang di pertunjukan Mahasiswa Indonesia menyambut kunjungan tamu-tamu penting dari Tanah Airnya, seorang pemuda Indonesia bernama UTIN SYAHRAZ mendemontrasikan kebolehannya bermain Kempo. Utin Syahraz tiba di Tokyo sekitar tahun 1960 sebagai Traine Pampasan. Sebelumnya ia adalah pegawai pada Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta. Apa yang didemontrasikan itu, akhirnya menarik minat pemuda dan Mahasiswa Indonesia lainnya. Mereka antara lain; Indara Kartasasmita dan Ginandjar Kartasasmita serta beberapa lainnya yang datang kemudian ke Jepang. Dalam waktu-waktu luang dan libur, mereka memanfaatkan waktunya untuk datang langsung ke Pusat Shorinji Kempo di kota Tadotsu untuk menimba langsung seni beladiri tersebut dari Sihang-nya (So Doshin).Pemuda-pemuda tersebut sadar, tidak ada lagi kebanggaan mereka selain memberikan apa yang terbaik mereka terima di Jepang kepada pemuda-pemuda bangsanya sendiri sekembalinya ke Tanah Air. Hal tersebut tidak lain untuk kejayaan bangsa dan negara mereka, agar tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tidak saja dalam ilmu pengetahuan juga dalam olah raga. 
Untuk meneruskan warisan seni beladiri Shorinji Kempo, seperti apa yang mereka peroleh di Jepang kepada rekan-rekan senegaranya, ketika pemuda yaitu UTIN SYAHRAZ (kini almarhum), INDRA KARTASASMITA dan GINANDJAR KARTASASMITA (kini almarhum) bertekad melahirkan dan membentuk suatu wadah yang bernama PERKEMI (PERSAUDARAAN BELADIRI KEMPO INDONESIA). Wadah ini secara resmi dibentuk pada tanggal 2 Februari 1966. 
Dari beberapa murid dan berlatih di teras rumah waktu itu, kini PERKEMI telah melahirkan ribuan Kenshi-kenshi yang tersebar di seluruh Tanah Air. Selain merupakan salah satu anggota Top Organisasi yang bernaung dalam wadah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia). PERKEMI juga menjadi anggota penuh dari Federasi Kempo se-Dunia atau WSKO (WORLD SHORINJI KEMPO ORGANIZATION) yang berpusat di Kuil Shorinji Kempo di kota Tadotsu, Jepang. Sedangkan satu dari tiga perintis / Pendiri PERKEMI, yakni : Indra Kartasasmita (V-DAN; mantan Menteri Negara masa Orde Baru) masih tetap aktif, baik dalam Kepengurusan PERKEMI maupun pembinaanpara Kenshi muda lainnya. 
Dalam kepengurusan PERKEMI periode 1988 – 1992, tetap menjabat Ketua Umum adalah Jenderal (Purn) Yoga Soegono, dengan rincian lengkap susunan PB Perkemi sebagai daftar nama terlampir. Perkemi Pengda (Pengurus Daerah) secara aktif memberikan pembinaan terhadap Cabang dan Dojo telah ada di seluruh Provinsi se – Indonesia. Kegiatan yang bersifat Nasional, misalnya Kejuaraan Nasional Kempo sudah diadakan yang ke sekian kalinya di beberapa Provinsi di Tanah Air. Setiap tahunnya juga diadakan Gashoku (Latihan Bersama) dan Ujian Kenaikan Tingkat Nasional di Pondok Gede, Jakarta setiap awal bulan Februari dalam rangka memperingati lahirnya Perkemi.

No comments:

Post a Comment